close
Opini  

SOLUSI KENAIKAN HARGA CABAI

7FE526F1 6FEA 401E 9E1D BF631B012CDD
Ilustrasi bongkar muat bahan pokok di salah satu pasar di kota Kendari. (24 November 2022)

Oleh : Wahyudi Said

Mahasiswa Prodi Administrasi Pembangunan Pascasarjana Universitas Halu Oleo


Bismillahirrohmanirrohim.
Dengan suara lirih ku ucapkan kata tersebut seraya kulangkahkan kaki ku menaiki sebuah minibus berwarna gelap. Aku duduk di kursi penumpang di bagian depan, kebetulan minibus tersebut telah menjadi langgananku selama beberapa bulan belakangan. Yah, waktu itu Kamis, 24 November 2022 tepatnya pukul 23:34 WITA yang nampak di jam yang ku pakai. Pembicaraan pun aku mulai, bertiga ja ki bos q.?(dialek sulawesi) Kataku kepada driver sambil ku nyalakan sebatang rokok yang menempel di bibirku. Iye bos q, bertiga ja ki tapi alhamdulillah full lagi kiriman di tenda dan di belakang, sahutnya sigap dengan rasa syukur sambil menginjak pedal gas melaju meninggalkan kediamanku yang berada di desa Tojabi, Kecamatan Lasusua, Kab. Kolaka Utara menuju Kota Kendari.

Sambil menoleh melihat bagasi belakang, ku coba menghitung jumlah kantong besar yang tersusun rapi, 7,8,9 Allahumma shoyyiban naafi’an, hitunganku terpotong dikarenakan harus menaikkan kaca jendela karena tiba tiba hujan deras turun mengiringi perjalanan kami di malam tersebut. Alhamdulillah bos q, 74 kantong semua sama yang di tenda, ucapnya menimpali. Berapa beratnya 1 kantong.? Tanyaku kembali. 15 Kg/kantongan bos q,jawabnya. 1.110 Kg, masya Allah, Sahut ku heran. Kena berapa mi itu ongkosnya.?, tanyaku kembali. Iye, 3.000 per kilonya bos q, jawabnya cepat. Pastasan senyum senyum ki lagi, tiga juta lebih lagi bersih ini malam,godaku sambil tertawa kecil.

Seraya ku bersandar dan mulai melayani letupan letupan pertanyaan dan pemikiran di kepalaku, ku hentikan pembicaraan akrab kami, agar dia dapat fokus mengendarai minibus miliknya. Beberapa waktu belakangan, terutama komoditas cabai, sangat menyita perhatian semua lapisan masyarakat. Mulai dari ibu-ibu rumah tangga, pengusaha warteg/warung makan Padang, pejabat kementerian, hingga Istana Presiden. Pasalnya, gejolak harga komoditas pangan yang satu ini menjadi faktor pemicu utama angka inflasi. Dari sisi cuaca, musim hujan yang tengah berlangsung nyaris di semua daerah di Indonesia memicu peningkatan harga cabai, juga bawang merah, secara signifikan.

AhIoHokqQAAAAASUVORK5CYII=

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat rata-rata harga cabai rawit (per kg) harian di pasar modern di beberapa provinsi tercatat Rp 71,54 ribu per kg, data per Jumat, 18 November 2022. Secara keseluruhan, rata-rata minggu lalu turun dibandingkan rata-rata minggu sebelumnya yang tercatat Rp. 77,19 ribu per kg. Sulawesi tenggara menduduki urutan ke 8 dari 10 Provinsi dengan harga Cabai Rawit tertinggi yaitu 86,9 ribu per kg.

Sedangkan di kutip dari https://pilarpertanian.com/harga-pangan/sulawesi-tenggara-tanggal-24-november-2022 di pasar tradisional harga Cabai Rawit di Sulawesi tenggara tanggal 24 November 2022 adalah 41.700/kg, sedagkan di salah satu pasar di kota kendari tercatat 46.700/kg. Di perkirakan dengan keterangan yang di dapatkan dari perbicangan di atas, harga cabe rawit di Kolaka Utara berkisar antara 38.000 –  40.000/kg.

Kenaikan harga beberapa komoditas dari kelompok bahan pangan bergejolak (volatile foods) selama ini memang menjadi pemicu utama inflasi, utamanya sejak naiknya harga BBM beberapa bulan yang lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Oktober2022 lalu terjadi inflasi sebesar 0,37persen. Penyebab utamanya adalah kenaikan harga cabai merah rata-rata sebesar 21,2 persen yang berkontribusi pada angka inflasi sebesar 0,16 persen.

Kenaikan harga juga terjadi pada komoditas bawang merah dengan rata-rata kenaikan sebesar 16,1 persen. Kenaikan harga bawang merah memiliki bobot sebesar 0,7 persen dengan andil terhadap inflasi sebesar 0,10 persen. Begitu pula yang terjadi pada cabai rawit yang mengalami kenaikan harga rata-rata mencapai 29,7persen dengan bobot sebesar 0,19 persen dan andil terhadap inflasi sebesar 0,05 persen. Pemerintah memang telah memasukkan dua komoditas bumbu dapur tersebut ke dalam tujuh jenis bahan pangan yang ditetapkan harga acuannya.

Sebagaimana diketahui, pada Februari 2020 lalu Menteri Perdagangan Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 07 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Peraturan ini mulai berlaku sejak dikeluarkan pada 10 Februari 2020. Permendag ini mengatur harga acuan di tingkat petani dan akan tetapi komoditi cabai sudah tidak di atur dalam Permendag tersebut. Dengan kata lain, permendag tersebut terbilang sangat lemah dalam tataran implementasi. Harga komoditas sayuran dan komoditas pangan lainnya tetap melambung tinggi melebihi batas maksimum yang ditetapkan. Alhasil, kebijakan tersebut sama sekali tidak efektif meredam inflasi karena tidak memiliki taji.

Saya kira, terutama Solusi Kenaikan harga Cabaidan bawang merah, sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah melakukan antisipasi sejak dini. Sebut saja, misalnya, dengan penguatan stok dan pasokan. Sebenarnya, pada tataran petani dan pemerintah telah memiliki sistem kalender tanam terpadu (katam) komoditas-komoditas sayuran tersebut di berbagai daerah sentra produksi. Melalui pengaturan katam yang tepat, akan diperoleh stok yang cukup pada saat kebutuhan masyarakat mencapai puncak.

 

Tak perlu malu untuk belajar dari pengalaman zaman Orde Baru. Jadi, seharusnya sinergi sudah dibangun pemerintah pusat dengan daerah jauh hari sebelum puncak kebutuhan masyarakat terhadap komoditas itu tiba. Misalnya, menjelang datangnya hari besar nasional/ keagamaan, seperti Idul Fitri dan Natal/Tahun Baru atau saat musim paceklik akibat faktor musim. Ketika itu, jauh hari sebelumnya utusan Bina Graha dan kementerian/lembaga terkait telah intensif berkoordinasi dengan pemerintah daerah di sentra produksi sayuran, seperti Kabupaten Brebes, Tegal, Wonosobo, Nganjuk, Brastagi, dan daerah lain di Tanah Air.

Pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga terkait (termasuk Perum Bulog) mengucurkan anggaran yang cukup ke daerah-daerah. Anggaran tersebut digunakan untuk modal budi daya dan penguasaan hasil (op koop). Budi daya dirancang sedemikian rupa sehingga panen terjadi saat puncak kebutuhan masyarakat. Meski ditinjau dari ilmu agronomi cara ini sangat berisiko gagal panen karena dilakukan secara off season, dengan kawalan intensif dari petugas teknis pertanian, dapat terhindar dari kegagalan panen.

Saat itu, pemerintah juga gencar memasyarakatkan teknologi tepat guna bertanam sayuran dalam pot, budi daya vertikal (vertikultur), budi daya hidroponik, serta kebun atap (roof garden). Pada lahan yang terbatas, ibu-ibu rumah tangga dapat menanam sayuran, seperti cabai rawit, cabai merah, bawang merah, dengan stimulan benih dari Dinas Pertanian setempat. Cara-cara seperti itu ternyata sangat ampuh meredam gejolak harga cabai merah dan cabai rawit karena sewaktu-waktu dapat dipetik.

Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adalah upaya penguatan cadangan pangan di semua tingkatan. Pada era otonomi daerah seperti sekarang, pemerintah kabupaten/kota/provinsi perlu memiliki stok pangan sendiri di wilayah masing-masing. Untuk itu, pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan Perum Bulog yang telah berpengalaman dalam manajemen stok pangan di wilayah masing-masing. Sebelum itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam skala kebijakan yang sistematis.

Pertama, pemerintah perlu membuat daftar komoditas pangan yang perlu dijaga stabilitas pasokan dan harganya, terutama cabai dan makanan pokok. Pemilihan komoditas sebaiknya fokus pada pangan yang memiliki dampak strategis bagi kondisi ekonomi, sosial, dan politik, seperti beras, cabai merah, cabai rawit, jagung, minyak goreng, kedelai, gula, dan bawang merah. Hal kedua adalah pembagian tugas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pembagian tugas ini harus jelas dan terukur, mengingat dalam UU Pangan jelas tercantum bahwa cadangan pangan nasional terdiri dari cadangan pangan pemerintah pusat, cadangan pangan pemerintah daerah, dan cadangan pangan masyarakat.

Langkah ketiga adalah pembagian beban yang jelas. Porsi terbesar harus diambil oleh pemerintah pusat. Peran pemda disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan jumlah penduduk di wilayahnya. Langkah keempat adalah penetapan besarnya volume cadangan pangan nasional yang diperlukan untuk menjaga stabilitas harga. Penetapan volume ini dipengaruhi oleh jenis komoditas pangan, sifat kimia dan fisik pangan, peran komoditas tersebut dalam ekonomi nasional, dan beratnya volatilitas harga pangan, serta antisipasi kerawanan pangan akibat kekurangan komoditas tersebut, dll.

Langkah terakhir adalah sosialisasi yang tepat. Masyarakat perlu menyadari bahwa cadangan pangan masyarakat dibangun oleh masyarakat sendiri, dapat berupa lumbung pangan masyarakat atau cadangan pangan desa.  Selain itu, cadangan pangan masyarakat tersebut perlu dimiliki juga oleh tiap rumah tangga, pedagang, industri pengolahan, dan restoran.

Selain cadangan pangan nasional, upaya lain adalah dengan melakukan operasi pasar dan penyelenggaraan pasar murah untuk masyarakat. Kementerian terkait, seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, perlu berkoordinasi dengan Perum Bulog untuk menggelar Operasi Pasar Murah di pasar-pasar tradisional. Pemilihan lokasi pasar murah harus berdasarkan data perkiraan lokasi yang akan mengalami kenaikan harga secara signifikan.*