ADIWARTA.COM: Pembangunan daerah seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah kabupaten/kota, di mana dana alokasi khusus (DAK) menjadi salah satu instrumen utama dalam mendukung program-program prioritas nasional.
Dalam pengelolaannya, bupati atau wali kota memiliki peran krusial, mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi.
Namun, keterlibatan kepala daerah yang tidak transparan dalam pengelolaan DAK berpotensi menimbulkan penyimpangan, seperti yang diduga terjadi di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Provinsi sulawesi tenggara (Sultra).
Kasus dugaan korupsi pembangunan Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas) Konkep yang tengah disorot oleh Gerakan Pemuda dan Mahasiswa Sultra Jakarta (GPM Sultra Jakarta) menjadi bukti nyata bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan DAK masih dipertanyakan.
Proyek yang bernilai Rp 11,2 miliar ini seharusnya dikelola dengan profesional dan transparan. Namun, indikasi penyimpangan dalam pelaksanaannya telah memicu laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI).
Bupati Konawe Kepulauan, sebagai kepala daerah, tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas dugaan penyimpangan ini.
Meskipun dalam pelaksanaannya, proyek ini berada di bawah tanggung jawab Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Konkep, Bisman Abdullah, serta Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Laode Muh. Dzuri Abdullah.
Peran bupati dalam proses perencanaan dan pengusulan DAK tetap menjadi faktor utama yang perlu dikritisi.
Bagaimana mungkin proyek sebesar ini lolos tanpa pengawasan ketat dari kepala daerah? Apakah bupati mengetahui adanya dugaan penyimpangan ini namun membiarkannya terjadi, atau justru terlibat secara langsung?
Jika dugaan korupsi dalam proyek Labkesmas Konkep terbukti, maka ini bukan sekadar persoalan teknis di tingkat dinas, melainkan juga menunjukkan kegagalan kepemimpinan dalam mengelola anggaran daerah.
Keterlibatan CV. Britania Raya Construktion (BRC) sebagai kontraktor yang diduga bermasalah pun semakin memperkuat kecurigaan adanya permainan anggaran yang melibatkan lebih dari satu pihak.
Gerakan Pemuda dan Mahasiswa Sultra Jakarta telah mengambil langkah nyata dengan melaporkan kasus ini ke KPK dan Kejagung RI.
Namun, upaya ini tidak boleh berhenti di sana. Publik berhak mendapatkan transparansi penuh terkait penggunaan anggaran ini.
Bupati Konawe Kepulauan yang di akhir masa jabatannya ini harus bertanggung jawab dengan membuka seluruh dokumen terkait proyek ini kepada masyarakat, serta memberikan klarifikasi mengenai sejauh mana pengawasannya terhadap pelaksanaan DAK di daerahnya.
Kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki tata kelola DAK agar benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan justru menjadi ladang korupsi bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Jika tidak, kepercayaan publik terhadap pemimpin daerah akan semakin terkikis, dan pembangunan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi ajang bancakan segelintir elite.
Penulis: Salfin Tebara, Ketua Gerakan Pemuda dan Mahasiswa (GPM) Sulawesi Tenggara Jakarta (Sultra Jakarta).*
