Penulis: Arwanto Moita (Jurnalis)
Menurut Komisi Pemilihan Umum [PKPU] Republik Indonesia No. 7 tahun 2017 Pemilu adalah karena kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih anggota DPRD yang di lakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sedangkan Pilkada pada dasarnya sama dengan Pilpres, keduanya diselenggarakan dalam hal memilih pemimpin secara langsung, Pilkada di lakukan untuk memilih kepala daerah tersebut antara lain Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pilkada di lakukan pada lingkup tertentu.
Pemilu dan Pilkada di Indonesia dilakukan 5 tahun sekali jadi untuk menambahkan wawasan peserta didik proses Pemilu dan Pilkada di ajarkan sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar walaupun mereka tidak bisa memilih setidaknya mereka sudah mengetahui dan memahami apa itu Pemilu dan Pilkada dan setelah mereka sudah berusia 17 tahun mereka sudah memiliki dasar pengetahuan sehingga mereka tinggal mempraktikkannya.
Adapun syarat-syarat agar bisa mengikuti Pemilu dan Pilkada ialah warga negara Indonesia, telah berusia 17 tahun ataupun sudah pernah menikah, sehat jasmani dan rohani, dan tidak sedang terkasus pidana.
Milenial adalah kelompok demografi setelah generasi x. Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini hingga awal 2000- an sebagai akhir kelahiran atau biasa di sebut pemilih mudah atau pemilih milenial merupakan pemilih dengan rentang usianya antara 17 – 37 tahun [Wikipedia]
Menurut Ahmad Mustain Saleh menjelaskan peran generasi milenial atau generasi muda setiap perubahan yang terjadi di negeri ini banyak peristiwa besar menunjukkan aksi nyata kemajuan bangsa. Kami berharap aksi nyata para pemilih milenial dalam pemilu nanti ikut serta mengawal tegaknya demokrasi di negeri ini. Artinya pemilih milenial ikut aktif berpartisipasi dan mengawasi sebagal manifestasi dari kedaulatan rakyat ucapnya.
Pemilu 2024 di dominasi pemilih di bawah umur 40 tahun proporsinya sekitar 53-55 persen atau 107-108 juta dari total jumlah pemilih Indonesia. August Mellaz (Kompas.com) koordinator divisi sosialisasi dan partisipasi masyarakat KPU RI August Mellaz menganggap pemilu 2024 akan menjadi momen krusial bagi kalangan milenial untuk menentukan arah masa depan Indonesia. Tidak heran jika kita melihat bakal calon Presiden, Wakil Presiden ,Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, Wakil Wali Kota, dan Legislatif meruba strategi politiknya untuk lebih sering mendekatkan diri pada kelompok yang sering kali di sebut dengan generasi milenial dengan menggunakan salah satu cara yang di anggap paling jitu pendekatan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Tiktok karna sejatinya kalangan yang sering di sebut masyarakat milenium melihat figur berdasarkan reting di media sosial.
Tidak heran Jika kita melihat figur menampilkan kesederhanaan dan sosialisasi pada masyarakat kecil, menengah, dan atas yang sering kali di sebut membaur dengan semua golongan pada medium media sosial bakal calon tersebut faktanya perilaku ini menunjukkan penurunan demokrasi di bangsa ini karna sejatinya jika kita melihat pemilu di 20 tahun sebelumnya para figur ketika bertemu dengan masyarakat membawah visi dan misi yang di sampaikan kepada rakyat bukan karakter yang di buat-buat agar di katakan ada di semua golongan.
Sedangkan menurut Ramlan Surbakti [dalam Awaludin ,2016:4-33] parameter pemilu dan demokratis adalah : [1] hukum pemilu dan kepastian hukum; [2] kesetaraan antar warga Negara; [3] persaingan yang bebas dan adil; [4] partisipasi pemilih dan pemilu; [5] penyelenggara pemilu yang mandiri, berintegritas, efisien dan dengan kepemimpinan yang efektif; [6] proses pemungutan dan perhitungan suara berdasarkan asas pemilu demokratis dan prinsip pemilu berintegritas; [7] keadilan; dan [8] prinsip nirkekerasan dalam proses pemilu.
Namun dalam praktiknya, tidak sedikit pihak yang kala dalam kompetisi dan memberikan alasan bahwa ada kecurangan yang terjadi pada proses pemungutan dan perhitungan suara seperti di kutip dari [CNN, 2020]
Kecurangan atau malapraktik dalam pelaksanaan suatu pemilihan menurut [vickery dan shein ,2012.9 -12] di definisikan sebagai pelanggaran dalam proses penyelenggaraan pemilu yang bersifat tidak sadar, atau tidak sengaja, seperti lalai, ceroboh, tidak teliti, kekurangan sumber daya, atau tidak mampu dari pihak penyelenggara dan pelaksanaan pemilu. Sementara penyelenggara yang secara sadar atau sengaja dilakukan partai dan aparatnya, kandidat dan staf yang membantu dalam pemilu, ataupun penyelenggara dan pelaksana pemilu dimasukkan ke dalam konsep baru yang di sebut electoral fraud.
Untuk mencegah proses malapraktik atau korupsi pemilu, pencegahan menjadi hal yang penting seperti di ungkapkan oleh Achmad Badjuri [2011:88] penekanan pada aspek pencegahan korupsi perlu lebih di fokuskan dibandingkan aspek penindakan. Sanksi hukum bagi penyelenggara pemilu perlu dilakukan, sebagai bentuk pencegahan mal praktik pemilu. Walaupun pada dasarnya hukuman tersebut sudah tertuang dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 dalam pasal 551, undang – undang nomor 7 tahun 2017.
“Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK/PPS karena kesengajaan mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara/sertifikat rekapitulasi penghitungan perolehan suara dipidana paling lama 2 tahun dan denda sebanyak 24.000.000”.
Selain sanksi hukum, transparansi dianggap bisa menjadi sarana untuk mencegah terjadinya malapraktik pemilu. Lalu apa sebenarnya transparansi itu sendiri menurut abidin [dalam Daniel 2004107] transparansi juga dapat di artikan bahwa” informasi yang berkaitan dengan organisasi tersedia secara mudah dan bebas serta bisa di akses oleh mereka yang terkena dampak kebijakan yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Selain itu, informasi yang cukup berkaitan dengan kinerja lembaga tersedia dan disajikan dalam bentuk atau media yang mudah di pahami.
Transparansi dalam tata kelola pemilu menurut [Norris,2017:3] adalah keterbukaan tentang aturan dan prosedur, hasil dan proses yang digunakan oleh otoritas pemilu serta dianggap untuk membangun kepercayaan publik, meningkatkan martabat pembuat kebijakan dan menerapkan transparansi dapat membantu KPU dalam mengidentifikasi setiap pelanggaran kepemiluan, lemahnya kompetensi dan favoritisme terhadap kelompok politik tertentu, serta dapat meningkatkan kredibilitas KPU [catt et al 2014:23]
Bagaimana pun juga pelestarian NKRI yang demokratis di masa depan akan sangat bergantung dari peran dan kontribusi teman-teman mudah yang nanti akan jadi lapisan pemilih terbesar pada pemilu 2024 dan dengan peran aktifnya generasi milenial di pemilu 2024 dan terkolaboratif antara pemilih yang di atas usia 40 tahun beserta penyelenggara dan stakeholder terkait adalah kunci sukses pesta demokrasi di bangsa ini…
Salam Milenial
Milenial masa depan bangsa. . .
Tulisan ini merupakan edisi khusus dalam rangka kampanye sosial #milenialmelawangolput